Bo Sangaji Kai, naskah kuno milik Kerajaan Bima, aslinya ditulis menggunakan Aksara Bima. Naskah ini kemudian ditulis ulang pada abad ke-19 dengan menggunakan huruf Arab-Melayu, menggunakan Kertas dari Belanda dan Cina.
Kerajaan Bima
memang punya tradisi kuat mencatat dan menyalin kejadian, dilakukan
terus-menerus selama berabad-abad,terakhir ditulis dalam bahasa
Arab-Melayu. Perubahan dari aksara Bima ke Arab dilakukan setelah Islam
masuk Bima. Dalam naskah tersebut tertulis, menggunakan “bahasa yang
diridhoiAllah”.
Kitab ini mengisahkan kelahiran kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa, Nusa
Tenggara Barat, berikut kisah-kisah legenda Sumbawa, susunan
pemerintahan kerajaan di Sumbawa dari abad ke abad, hubungan Bima dengan
raja-raja Jawa, hingga perjanjian sultan-sultan Bima dengan Belanda.
Bo Sangaji Kai menceritakan sejarah Bima dimulai pada abad ke-14, ketika
Sumbawa diperintah kepala suku yang disebut Ncuhi. Wilayah Bima terbagi
dalam lima wilayah: selatan, barat, utara, timur, dan tengah. “Terkuat
dan tertua ialah Ncuhi Dara. Kini wilayahnya disebut Kampung Dara,”
cerita Siti Maryam Salahuddin, keturunan Sultan Bima terakhir Muhammad
Salahuddin (1915-1951). Maryam ialah satu dari sedikit orang yang bisa
membaca huruf Arab Melayu pada Bo Sangaji Kai.
Struktur Ncuhi mulai mengalami perubahan ketika Indra Zamrud diangkat
menjadi Raja Bima pertama. Ayahnya bernama Sang Bima, karena itu nama
kerajaannya disebut Bima, yang dalam bahasa setempat disebut Mbojo, yang
meliputi Pulau Sumbawa.
Dikisahkan, Indra Zamrud tatkala kanak-kanak dikirim oleh ayahnya ke
Pulau Sumbawa menggunakan keranjang bambu. Dia mendarat di Danau
Satonda, dekat Tambora. Kedatangannya sudah didengar Ncuhi Dara. Dia pun
kemudian menyambut serta mengangkatnya menjadi anak angkat. Setelah
dewasa, lima ncuhi di Sumbawa sepakat mengangkat Indra Zamrud sebagai
raja setempat, sedangkan para ncuhi itu sendiri menjadi menteri. Pada
suatu masa, ada keturunan Indra Zamrud yang memiliki 30 anak, dua puluh
lelaki dan sepuluh perempuan. Anak lelakinya dijadikan raja di beberapa
daerah Sumbawa, antara lain di Dompu, Bima, dan Sumbawa.
Siti Maryam mengisahkan, “Cerita ini diperkirakan terjadi abad 14. Tapi
kemudian diperbarui karena di Kitab Negarakertagama, Kerajaan Bima
disebut sudah memiliki pelabuhan besar pada 1365. Ini cocok dengan kisah
di Bo Sangaji Kai. Jadi, kemungkinan Kerajaan Bima dimulai pada 1340.”
Menurut Maryam, dalam versi Arab-Melayu ada sepotong kisah yang hilang,
yang tidak terdapat dalam naskah kuno Bo Sangaji Kai yang beraksara
huruf Bima yang baru sebagian kecil sempat ia baca. Setelah cerita
tentang keturunan Indra Zamrud, teks Arab-Melayu langsung masuk pada
bagian tentang perubahan kerajaan menjadi kesultanan yakni saat pertama
Islam masuk Bima sekitar abad ke-16. Catatan ini melahirkan banyak kisah
baru, antara lain berdirinya Kampung Melayu di Kota Bima.
Kesultanan Bima mengakhiri masa pemerintahan saat Indonesia merdeka 1945. Saat itu raja-raja Sumbawa memutuskan untuk bergabung ke dalam Republik Indonesia. Sultan Muhammad Salahuddin, Ayahanda
Siti Maryam, merupakan sultan terakhir Bima. Sesuai dengan UU No 1
Tahun 1957 tentang penghapusan daerah swapraja, Maryam kemudian
menyerahkan bangunan kerajaan kepada Pemda dan kini dijadikan museum.
Sebagian peninggalan kesultanan berupa mahkota, pedang, hingga furnitur
disumbangkan; sedangkan sebagian lagi disimpan di Samparaja, museum
pribadi Maryam bersaudara guna dirawat untuk melengkapi berbagai
kenangan tentang ayahanda juga jejak langkah sultan-sultan Bima .
Naskah Kuno Beraksara Arab-Melayu yang Terlantar
Diketahui bahwa ada dua peti yang berisi naskah Bo Sangaji Kai! Siti
Maryam Salahuddin, salah seorang keturunan Kerajaan Bima yang telah
berusia 80 tahun, setelah lima tahun membacanya bersama beberapa ahli,
baru bisa menyelesaikan satu kitab saja. Siti Maryam juga kemudian
membuat katalog naskah-naskah kuno warisan Kerajaan Bima, bersama Almarhum
sahabatnya, Rujiati S.W. Mulyadi dari Fakultas Sastra Universitas
Indonesia yang juga pernah menjabat Ketua Pusat Dokumentasi HB Jassin.
Siti Maryam begitu khawatir melihat kenyataan masih menumpuknya naskah
kuno tersebut. Ia heran, kenapa generasi muda jarang tertarik untuk
mengetahui sejarah negeri sendiri, Bima. Kekhawatirannya jelas beralasan
karena Bo Sangaji Kai yang beraksara Arab-Melayu ini tak mudah untuk
diterjemahkan, sebab banyak memakai istilah-istilah dalam bahasa Bima.
Kecenderungan akan punahnya aksara Bima membuat Maryam makin gelisah. Ia
hingga kini mengaku masih terus belajar dan merasa belum begitu lancar.
Namun kekhawatirannya mulai berkurang setelah seorang mahasiswa IAIN
Mataram, Lombok, tertarik dan kini mulai lancar membaca aksara kuno
tersebut.
Sebenarnya dulu, tutur Siti Maryam, ada seorang filolog dari Belanda
yang berminat terhadap aksara Bima. Ia lalu menemui Maryam di Mataram,
membawa foto kopi huruf yang diperoleh dari sebuah lontar yang sudah
lama disimpan di salah satu museum di Negeri Belanda. "Setelah
dicocokkan, huruf itu ternyata aksara Bima. Dia belajar, mengeja satu
per satu, kemudian saya rangkai. Tapi sekarang dia sudah meninggal. Jadi
berkurang satu orang yang mengenal aksara Bima," ungkap Maryam.
Untuk melestarikan bahasa dan aksara Bima, Maryam bercita-cita, pada
Juli 2007, dia akan meluncurkan keberadaan aksara Bima pada seminar
internasional naskah Bima di Bima. Seminar itu sendiri akan dihadiri
banyak ahli sejarah, arkeologi, dan filologi. Sedikitnya 10 negara sudah
memberi konfirmasi kehadiran para ahlinya.
Digarap Filolog Prancis, Henry Chambert Loir
Suatu hari pada tahun 1984 Pangeran Bernard dan Duta Besar Belanda van
Dongen berkunjung ke Bima. Ketika itu, Siti Maryam Salahuddin, salah
satu putri Sultan Bima terakhir Muhammad Salahuddin, diminta pemerintah
daerah untuk mempersiapkan semacam pameran benda-benda peninggalan
Kerajaan Bima. Maryam pun lalu mengeluarkan berbagai senjata, perhiasan
emas, dan permata untuk diperlihatkan kepada tamu kehormatan. Namun
Maryam merasa tidak puas. “Rasanya ada yang kurang tanpa kehadiran kitab
Bo Sangaji Kai,”ujarnya.
Maryam pun kemudian melakukan pencarian, dan hasilnyatidak sia-sia: dua
peti naskah kuno berhasil dikumpulkan meski berserakan di mana-mana.
“Ada di banyak lemari dan banyak tempat di istana. Halamannya pun kacau,
bahkan bagian terakhir ada yang rusak,”ungkap Maryam.
Setelah terkumpul, naskah Bo Sangaji Kai pun dipamerkan dan menyedot
perhatian Pangeran Bernard dan van Dongen. Merekatidak mengacuhkan emas
permata. Bo Sangali Kai justru menjadi perhatian.
Pangeran Bernard lalu bertanya, "Apakah Anda sudah mempunyai kopi naskah
untuk berjaga-jaga jika hilang atau rusak?" Maryam tersentak, menjawab
jujur, belum.
Maryam pun mengaku malu sekali:mengapa orang asing yang justru peduli
dengan peninggalan Bima? Siang itu, Maryam pun langsung ke pasar mengopi
semua naskah. “Tapi tidak selesai karena terlalu banyak hingga membuat
mesin fotokopi rusak. Akhirnya proses itu dilanjutkan di Mataram,
Lombok,” kenang Maryam yang harus bolak-balik Mataram-Bima.
Kini, kopian naskah kuno sudah tersebar di beberapa tempat,antara lain
di Perpustakaan Nasional dan museum di Belanda. Maryam masih memegang
naskah yang asli.
Henry Chambert Loir, filolog dari Prancis, sangat terkejut ketika diberi
tahu ada dua peti naskah kuno Bo Sangaji Kai. Didorong semangat
keilmuannya, Henry segera mendatangi Maryam. Bersama-sama mereka
melakukan penelitian, kemudian melahirkan buku berjudul Bo Sangaji Kai:
Catatan Kerajaan Bimayang diterbitkan Ecole Francaise d'Extreme Orient
bekerja sama dengan Yayasan Obor. Buku itu merupakan sumbangan besar
dalam dunia sejarah. Namun begitu, banyak naskah kuno Bima yang belum
tersentuh, apalagi digarap secara ilmiah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar